PENGARUH POSTMODERN TERHADAP PELAYANAN PUBLIK

Postmodern, menurut Armada Riyanto, 2009, dewasa ini menjadi sangat dominan, menggurita pada sektor-sektor politik, pemerintahan, seni, sastra, ekonomi bahkan religiusitas. Bahkan sudah dianggap seperti hantu karena unsur ketidakpastian pada postmodern itu sendiri. Postmodern juga mengakibatkan hubungan antar manusia menjadi bergeser, sehingga faktor otoritas individu dengan individu lainnya sangat berperan atas bagaimana hubungan antar manusia itu sendiri.
Teknologi adalah sebuah produk dari konstruksi rasional, yang berawal dari kesadaran rasional manusia terhadap sesama, lingkungan dan Tuhannya. Berkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi menjadikan batasan antara wilayah dan manusia menjadi semakin lebih sempit. Otoritas antar individu dan wilayahpun menjadi semakin pendek, yang pada akhirnya muncul istiolah globalisasi.

Globalisasi dan revolusi teknologi informasi telah merubah wajah pemerintahan, yang sebelumnya memiliki otoritas penuh terhadap rakyatnya, sehingga tapal batas wilayah antar daerah menjadi semakin kabur. Kebijakan yang diambil oleh suatu daerah akan segera mempengaruhi daerah lain sehingga seringkali suatu kebijakan tidak bisa lepas dari intervensi dari masyarakat.

Perubahan arah politik yang lebih menekankan pada kekuasaan tertinggi ada pada rakyat menyebabkan tekanan yang besar sehingga perlu adanya tata kelola pemerintahan yang lebih baik, transparan dan akuntabel atau yang kemudian dikenal dengan Good Governance.

Governance dan Good Governance banyak didefinisikan berbeda menurut para ahli, namun dari perbedaan definisi dan pengertian tersebut dapat dirumuskannya sebagai cara mengelola urusan-urusan publik (Mardiasmo, 2004:17). Good dalam good Governance mengandung dua pengertian sebagai berikut. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini, Good Governance berorientasi pada :

1. Orientasi ideal, Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti : legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control.

2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauh mana pemerintah  mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien, (Sedarmayanti,2004:6)

Disinilah terlihat bahwa publik atau rakyat memiliki peran penting terhadap negara. Baik atau tidak baik sebuah negara dalam menjalankan peran kenegaraan, pendapat dari masyarakat atau rakyat sangat menentukan.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan good governance adalah pelayanan publik yang pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Semakin besarnya tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan khususnya pada bidang pelayanan publik, khususnya di Jawa Timur, Pemerintah Daerah Jawa Timur mengeluarkan Peraturan Daerah No. 11/ 2005 tentang pelayanan publik di Jawa Timur. Satu tahun kemudian diluncurkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 14/2006 tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah  No. 11/2005 tentang pelayanan publik Jawa Timur. Melihat kemajuan di Jawa Timur, pada tahun 2009 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 25/2009 tentang pelayanan publik

Dalam konsep pelayanan, terdapat dua pelaku pelayanan yaitu penyedia pelayanan dan penerima pelayanan. Penyedia pelayanan atau service provider (Barata 2003:11) adalah pihak yang memberikan pelayanan tertentu kepada konsumen, baik berupa pelayanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Sedangkan penerima pelayanan (service receiver) adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan para penyedia pelayanan.

Pelayanan publik adalah representasi dan eksistensi dari birokrasi pemerintah yang memangku fungsi sebagai pemberi layanan terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kualitas layanan yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas birokrasi pemerintah. Paradigma pelayanan publik pada masa lalu, memberikan peran yang lebih terhadap pemerintah sebagai sole provider. Masyarakat atau penerima layanan sebagai pihak luar tidak memiliki tempat atau termarjinalkan. Masyarakat hanya memiliki sedikit sekali dalam memberikan warna dalam proses pelayanan publik.
Reformasi pelayanan publik pada tahun 1990 terjadi karena kesalahan dalam memahami paradigma atau mitos upaya memperbaiki kinerja pemerintah. Menurut Osborn & Plastrick (1996 : 13) terdapat lima mitos dalam konsep pelayanan public yaitu mitos liberal (spending more and doing more), konservatif (spending less and doing less), bisnis, pekerja dan rakyat.

Hughes (1994) mengatakan bahwa ”government organization are created by the public, for the public, and need to be accountable to it.” Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Bertumpu pada pendapat ini, pemimpin organisasi publik diwajibkan berakuntabilitas atas kinerja yang dicapai organisasinya. Tujuan utama organisasi publik adalah memberikan pelayanan dan mencapai tingkat kepuasan masyarakat seoptimal mungkin.

Karakteristik manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), memiliki tujuan sosial serta akuntabel pada publik.

Sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan negara, dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima, paradigma pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer-driven government) yang dicirikan dengan lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan masyarakat, serta menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target yang didasarkan pada visi, misi, tujuan dan sasaran.

Tetapi dalam melihat potret organisasi publik di Indonesia terlihat masih jauh dari aspek-aspek good governance. Terlihat dari masih tingginya angka korupsi di organisasi-organisasi publik. Terlihat dari indeks yang dikeluarkan oleh indeks persepsi korupsi Indonesia, Indonesia menempati urutan ke 122 dari 133 negara pada tahun 1998-2003.

Perubahan atmosfer kepemerintahan yang menyikapi akan perilaku korupsi semakin menunjukkan kekuatan rakyat sebagai penguasa tertinggi pada sebuah Negara. Tersusunnya Perundang-undangan tentang korupsi, pengadilan korupsi sampai sebuah lembaga khusus yang mengemban tugas untuk memberantas korupsi. Pejabat pelaku korupsi akan menerima sebuah stempel baru dari masyarakat yang menjadi sebuah hukuman yang bukan pada tataran yuridiksi tetapi pada tataran kultural.

Korupsi adalah melanggar budaya, budaya jujur, budaya hemat, budaya peduli pada wong cilik. Bahkan pada beberapa tempat, para demonstran menyerukan bahwa dosa dari korupsi sama dengan dosa teroris.

Korupsi pada pelayanan terhadap publik, bukan hanya pada besarnya biaya adminsitrasi yang tidak sesuai dengan tuntunanya, tetapi juga waktu, sikap, kualitas pengetahuan akan pelayanan, akurasi pelayanan dan kepastian akan pelayanan terhadap masyarakat. Kondisi ini karena mental yang belum sepenuhnya mengerti akan jiwa melayani seperti semar melayani para kesatria. Dalam bukunya, politik, sejarah, identitas, postmodern, Armada Riyanto, 2009, menggambarkan sosok semar sebagai lurah tetapi juga sebagai pelayan. Ia hadir tetapi tidak mendominasi, apalagi menindas, tidak merengkuh kekuasaan karena kesaktiannya, tetapi mengawalnya.

Pribadi semar inilah yang seharusnya menginspirasi moral dan etika para pejabat publik, sehingga dalam memberikan pelayanan akan selaras dan seimbang terhadap kebutuhan rakyat. Tetapi seringkali, pejabat publik menyandarkan pada kebutuhan dan kepentingan pribadi atau sekelompok atau kumpulan dari pribadi-pribadi yang menjalankan kekuasaan untuk menguasai, bukan mengawalnya.

Seperti halnya sosok Walikota Surabaya. Tri Rismaharini, yang memimpin dengan filsafat semar. Berawal dari tugasnya sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya pada tahun 2005, Risma berhasil mengubah wajah Surabaya menjadi jauh lebih bersih dan lebih hijau.

Risma pun melibatkan warga dalam menjaga sungai, atau istilah yang dia gunakan adalah jogo kali, sebuah gerakan yang pertama kali dia lakukan. Berawal dari sungai, karena sungai adalah sumber dari kehidupan, keindahan dan keteraturan dalam iklim kota yang sudah sangat semrawut. Kemudian sampah dia benahi dengan berkeliling langsung di Kota Surabaya serta ditambahkannya tenaga kebersihan, atau yang kita tahu sebagai pasukan kuning.

Risma pun memberikan penghargaan pada pasukan kuningnya dengan memberikan kenaikan upah dan penghargaan sosial lainnya. Kemudian gerakan penghijauan dan pertamanan diluncurkan sebagai program unggulan, dimana-mana terlihat taman-taman yang indah dan hijau. Setelah itu adalah cahaya atau lampu penerangan.

Sebuah perubahan dari kepemimpinan kaum pria kepada kaum wanita. Risma sebagai walikota perempuan pertama dalam sejarah Kota Surabaya, yang memimpin dengan berlandaskan filsafat semar, yang pada akhirnya tata kelola pemerintahan Kota Surabaya bisa menjadi lebih baik.

Sosok wanita yang berhasil dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat menjadi sebuah wacana publik yang mulai menggelinding seperti bola salju, bahwa kaum pria sudah tidak lagi dominan dalam tata struktural jabatan pada sebuah organisasi publik. Di Indonesia memiliki kartini-kartini yang menggeser paradigma kekuasaan pria. Terlepas itu menjadi sukses ataupun tidak. Isu-isu gender kemudian bahkan diangkat sebagai isu strategis dalam wacana pergantian kekuasaan dan politik. Hal ini memang terkait dengan jumlah wanita di Indonesia yang mencapai 49% dari jumlah penduduk.

Pemahaman tentang konco wingking menjadi bergeser pada kesetaraan derajat. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar memiliki CEO seorang wanita. Selain Risma, tokoh fenomenal lainnya, dalam tugasnya memberikan pelayanan terhadap masyarakat,  adalah Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan. Sosok yang menjaga dengan kekuasaannya, mengawal dengan kesaktiannya, perekonomian bangsa sehingga tidak terpuruk pada kondisi krisis ekonomi dunia dengan jatuhnya perekonomian Amerika. Sri Mulyani pun akhrnya mendapatkan penghargaan Menteri Keuangan terbaik dunia selama 3 tahun berturut-turut.

Fenomena inilah yang akhirnya bukan hanya meluluhlantakkan filsafat Aristoteles tetapi juga menjungkalkan Hegel yang menempatkan wanita sebagai makhluk yang tidak rasional. Sebuah pengaruh dari bergulirnya hantu postmodern yang merubah banyak tatanan dan aspek kehidupan.

1 komentar:

  1. Agen s128 adalah situs sabung ayam online sebagai salah satu penyedia jasa
    sabung ayam s128 di indonesia.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.